Saturday, January 14, 2006

Mempertahankan Rasa, Mempatenkan Nama

Oleh: Muhlis Suhaeri

Ada berbagai cara mengikat setiap pelanggan, supaya mendatangi dan mampir di rumah makan. Salah satunya, mempertahankan rasa dan nama. Hasilnya? Rejeki akan mengalir ke kantung Anda. Mau tahu buktinya, inilah salah satu profil dari usaha itu.

Bagi masyarakat Kota Pontianak, nama rumah makan ini sudah tidak asing lagi di telinga. Rumah makan itu bernama Siti Fatimah. Rumah makan ini terkenal karena menu spesialnya, nasi goreng. Ya, rumah makan Siti Fatimah sudah menjadi citra tersendiri, bagi penikmat nasi goreng. Dari sanalah, cita rasa itu dibentuk dan dipertahankan.


Sejatinya, rumah makan Siti Fatimah tidak hanya menjual nasi goreng. Rumah makan ini juga menjual mie goreng, mie rebus dan soto ayam. Namun, nasi goreng yang menjadi ciri dan andalan rumah makan ini. Sejarah rumah makan ini cukup panjang sebelum mencapai taraf seperti sekarang.

Awal tahun 1980-an, Mustofa dan Surya membuka warung nasi goreng di Gertak 2, Gang Kenari. Mereka masih menggunakan gerobak dorong. Banyak pelanggan mendatangi warung itu. Harganya tergolong murah. Satu porsi nasi goreng Rp 1.500. Melihat warung tenda itu terlihat sempit, sementara pelanggan semakin banyak, ada salah satu pelanggan nasi goreng menawarkan rukonya untuk disewa. Pasangan itu pun sepakat dan menerima tawaran.

Akhirnya, usaha nasi goreng pindah ke ruko di jalan H. Rais Abdurrahman, Sungai Jawi. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1982. Nah, dari sinilah restoran terus berkembang. Pasangan itu memberi nama rumah makan tersebut, Siti Fatimah, sesuai dengan nama anak bungsu mereka.

Kini, tiga deretan ruko dua tingkat, telah ditempati rumah makan ini. Dua untuk usaha, satu ruko khusus untuk rumah tinggal. Yang mengelola rumah makan ini, Hj. Siti Fatimah bersama suaminya, H. Muniri. Pasangan ini mempunyai anak 3 orang anak. Dua lelaki, satu perempuan.

Apa yang khas dari rumah makan Siti Fatimah?

“Yang istimewa dari makanan ini adalah rasanya,” kata Muniri. Memang begitulah adanya. Dari lauk maupun bumbunya, semuanya khas. Bahkan, ayam untuk lauknya pun dipakai ayam petelur. Yang rasanya mirip dengan ayam kampung.

Sekarang ini, rumah makan Siti Fatimah sudah banyak membuka cabang. Mereka yang buka cabang, dulunya kerja di rumah makan ini. Rumah makan itu tersebar di jalan Panglima Aim, Parit Haji Husin Dua (Paris), Johar, Siantan, dan Sungai Jawi.

Untuk rumah makan yang terletak di jalan Panglima Aim, telah berubah nama menjadi Rumah Makan Pariha. “Nama itu sesuai dengan nama anak saya,” kata Juhri, sang pemiliknya. Dan di jalan Johar berubah nama menjadi Rumah Makan Iin. Mereka masih terbilang saudara dengan rumah makan Siti Fatimah. Rasa makanan dan menunya juga sama.

Rumah makan di jalan H Rais Abdurrahman mulai buka pada pukul 10 pagi, hingga pukul 11 malam. Rumah makan lainnya, buka mulai sore hari. Tak ada minuman khas. Orang makan biasanya ditemani dengan teh botol atau teh es saja. Orang jarang makan nasi goreng dengan minuman bersoda.

Biasanya rumah makan ramai selepas maghrib hingga pukul 21. Menyantap nasi goreng, memang terasa lezat pada malam hari. Hemmm. Dinginnya malam, membuat nasi goreng lebih gurih dan nikmat. Namun, bila kondisi hujan, dagangan juga bisa tekor, karena tidak ada orang datang. Nah, nasi tentu saja menjadi basi. Dan ini berarti kerugian bagi pedagang. Dalam satu hari bisa menghabiskan nasi sekitar 20 kg.

Mengelola suatu usaha rumah makan, tentu ada kendalanya. Namanya juga melayani orang. Tentu saja temperamennya macam-macam. Kadang ada orang tak sabar dan minta duluan. Ada berprilaku seenaknya. Terkadang ada preman datang minta jatah nasi goreng. Walaupun jumlahnya tidak banyak, tapi ada saja orangnya. “Tidak dikasih bagaimana. Namanya kita ini dagang, maunya tentu aman saja,” tutur Muniri.

Kenaikan harga BBM, sangat berpengaruh terhadap penjualan nasi goreng. Penjualan menurun hingga 50 persen. Naiknya harga BBM, otomatis berpengaruh terhadap harga bahan pokok. Yang turut melonjak naik. Kalau orang biasanya orang membeli 5 bungkus, sekarang jadi perhitungan. Apalagi pada masa awal, ketika BBM mulai naik. Efeknya terasa sekali. Harga makanan perporsi turut dinaikkan. Bila sebelum BBM naik, satu porsi seharga Rp 6 ribu. Setelah BBM naik, seporsi menjadi Rp 7 ribu. Orang paham dan mengerti, saat harga dinaikkan. Dan kenaikan itu terbilang kecil, dibandingkan dengan naiknya harga BBM.

Mengelola rumah makan tentu saja ada pasang surutnya. Pertama kali jualan, satu piring nasi goreng seharga Rp 1.500. Seiring berjalannya waktu, harga nasi goreng naik menjadi Rp 2 ribu, Rp 3 ribu dan terakhir Rp 7 ribu. Saat perporsi masih Rp 2 ribu, jualan nasi goreng lumayan mendatangkan hasil, karena harga ayam masih Rp 1.500 perkilo. Sekarang ini, meski harga satu piring Rp 7 ribu, tapi harga ayam sudah mencapai Rp 15 ribu perkilo. Satu ayam petelur besar, beratnya bisa mencapai 4-5 kilo perekor. Dalam satu hari, dapat menghabiskan 10 ekor ayam.

Mengelola bisnis rumah makan lumayan berat kerjanya. Apalagi mengelola ayam. Untuk menangani ayam saja, butuh waktu hingga setengah hari. Penanganan ayam melalui beberapa tahapan, antara lain; dipotong, direbus, diiris kecil-kecil, dirempah dengan kecap, dan digoreng lagi. Pada tahap ini, ayam diberi rempah, bumbu, kecap dan segala macam bumbu lainnya.

Cara mengelola rumah makan harus berlaku ramah terhadap orang. Itu yang penting. Masalah rasa, juga jangan berubah dan harus dijaga. Apa rahasia, supaya rasa tidak berubah?

“Untuk menjaga rasa, saat merempah jangan terlalu banyak orang. Kalau beda orang, bisa lain rasanya,” kata Muniri. Orang yang biasanya merempah itulah, seharusnya melakukan pekerjaan itu. Biasanya hanya 1-2 orang. Merempah ayam adalah memberi daging ayam dengan garam, bumbu masak, dan lainnya. Bila orangnya lain, rasa juga akan lain. Merempah perlu takaran sama pada setiap bahannya.

Ada 10 orang pekerja di rumah makan ini. Yang menggoreng nasi ada 3 orang. Biasanya lelaki. Pekerjaan ini lumayan menguras tenaga. Bagian merempah ada 1-2 orang dan sisanya bagian pelayanan. Rumah makan Siti Fatimah tidak melayani permintaan catering untuk pesta atau lainnya. Karena repot sekali kerjanya.

Namanya juga usaha, syarat aman tentulah menjadi prioritas. Rumah Makan Siti Fatimah menawarkan hal itu. Kalau sekitar usaha banyak pemabuk, otomatis pelanggan akan malas datang. Kalau tempatnya nyaman, orang makan tentu merasa enak. Asal tahu saja, pengamen tidak diijinkan untuk masuk. Banyak tamu mengeluh dengan kehadiran mereka. Hal itu pengaruh sekali ke tamu. Misalnya saja, ketika orang baru saja duduk santai dengan keluarganya. Tiba-tiba......jreng-jreng. Dan tamu merasa terganggu. Pengamen tidak akan marah, meski dilarang masuk ke rumah makan. Karena mereka dijelaskan dengan cara baik. Namanya juga sama-sama cari makan. Jadi saling menghargai.

Apa keistimewaan lain Rumah Makan Siti Fatimah?

“Nama Rumah Makan Siti Fatimah sudah dipatenkan,” kata Muniri.
Banyak orang datang dan menawarkan diri melakukan kerja sama. Sistemnya bagi hasil. Ada yang menawarkan tempatnya, minta buka di kota lain, dan sebagainya.

Orang pernah mengajak kerja sama buka cabang di Batam, Malaysia, dan Ketapang. Di Pontianak sendiri, sudah banyak orang mengajak kerja sama. Mereka datang berkali-kali. Mereka datang dan datang lagi. Menawarkan kerja sama. Orang itu sebenarnya pelanggan juga. Setelah makan, mereka tertarik mengadakan kerja sama. Lalu, alasan orang ingin membuka nasi goreng di Malaysia, karena belum ada nasi goreng seperti itu di sana.

Apa jawaban Muniri?

“Kita tidak mau,” kata Muniri. Dia khawatir, orang itu pada awalnya mau bagi hasil. Setelah mengetahui dan bisa membuatnya, mereka akan berusaha sendiri. Setelah itu, akan meningalkannya. “Lagian, kita sudah punya nama. Nanti kalau rasanya rusak, nama kita bisa rusak juga,” kata Muniri, memberikan alasan. Nama rumah makan dipatenkan pada tahun 2003. Besarnya? Lebih dari Rp 5 juta-an.

Nama memang sangat penting bagi sebuah usaha. Kalau ada yang membuka rumah makan dengan nama sama, tentu orang akan ke tempat itu. Karena namanya dianggap sama.

Sekarang ini, Muniri belum berpikir mengembangkan usaha di Jakarta. Rencana tetap ada. Tapi, orang yang dipercaya menangani tidak ada. Kondisi sekarang lagi jaman susah. Alasan lain, ketika membuka rumah makan baru dan tempatnya masih sewa, akan menyusahkan nantinya. Ketika usaha maju, si pemilik bangunan akan terus meningkatkan harga sewanya. Kontraknya akan terus melambung tinggi. Disitulah kesulitnya. “Jadi, kalau kita tidak punya ruko sendiri, kita tidak ada keinginan untuk buka,” kata Muniri.

Bagaimana rumah makan ini menatap masa depannya?

“Kedepannya, saya masih yakin bahwa rumah makan ini akan tetap laku,” kata Muniri. Tapi, sekarang ini, masalah harga juga harus tetap bertahan dengan harga sekarang. Karena semua barang naik harganya.

“Yang penting, kita masih bisa jalan, dan akan kita jalankan,” kata Muniri, mengakhiri pertemuan sore itu.***

Foto by Lukas B. Wijanarko, "Berdagang."
Edisi Cetak, minggu kedua, Januari 2006, Matra Bisnis

No comments :